Biography JS. Bach
Kamis, 09 April 2015
Seniman Musik Pahlawan Indonesia
Wage Rudolf Supratman (1903-1938) Penggubah Lagu Indonesia Raya. Tingginya jiwa kebangsaan dari Wage Rudolf Supratman menuntun dirinya membuahkan karya bernilai tinggi yang di kemudian hari telah menjadi pembangkit semangat perjuangan pergerakan nasional. Semangat kebangsaan, rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka dalam jiwanya dituangkan dalam lagu gubahannya Indonesia Raya. Lagu yang kemudian menjadi lagu kebangsaan negeri ini.
Penolakan jiwanya terhadap penjajahan, pernah juga dituliskannya dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa. Namun sayang, Pahlawan nasional yang lahir 9 Maret 1903 ini sudah meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938, sebelum mendengar lagu gubahannya dikumandangkan pada hari kemerdekaan negeri yang dicintainya.
Kilas balik dari lahirnya lagu Indonesia Raya sendiri adalah berawal dari ketika suatu kali terbacanya sebuah karangan dalam Majalah Timbul. Penulis karangan tersebut menentang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Supratman yang sudah semakin kental jiwa kebangsaannya merasa tertantang. Sejak itu, ia mulai menggubah lagu.
Dan pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya. Ketika Kongres Pemuda, yakni kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda dilangsungkan di Jakarta bulan Oktober tahun 1928, secara instrumentalia Supratman memperdengarkan lagu ciptaannya itu pada malam penutupan acara tanggal 28 Oktober 1928 tersebut. Disitulah saat pertama lagu tersebut dikumandangkan di depan umum. Lagu yang sangat menggugah jiwa patriotisme itupun dengan cepat terkenal di kalangan pergerakan nasional.
Sejak itu apabila partai-partai politik mengadakan kongres, lagu Indonesia Raya, lagu yang menjadi semacam perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka itu selalu dinyanyikan. Dan ketika Indonesia sudah memperoleh kemerdekaan, para pejuang-pejuang kemerdekaan menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Dan, Wage Rudolf Supratman yang meninggal dan dimakamkan di Surabaya tanggal 17 Agustus 1938, dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional atas segala jasa-jasanya untuk nusa dan bangsa tercinta ini.
Ismail Marzuki
Ismail Marzuki (1914-1958) Komponis Pejuang Legendaris Komponis pejuang dan maestro musik legendaris ini dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI, dalam rangkaian Hari Pahlawan 10 November 2004 di Istana Negara. Dia dikenal sebagai pejuang dan tokoh seniman pencipta lagu bernuansa perjuangan yang dapat mendorong semangat membela kemerdekaan.
Ismail Marzuki kelahiran kampung Kwitang, Jakarta Pusat, pada tahun 1914 ini menciptakan sekitar 250 lagu. Karya-karyanya sampai hari ini masih sering terdengar, antara lain Juwita Malam, Sepasang Mata Bola, Selendang Sutera, Sabda Alam, dan Indonesia Pusaka. Komponis pelopor yang wafat 25 Mei 1958, ini telah melahirkan lagu-lagu kepahlawanan, yang menggugah jiwa nasionalisme. Maestro musik ini menyandang predikat komponis pejuang legendaris Indonesia.
Ismail Marzuki memang seorang komponis besar yang sampai saat ini boleh jadi belum ada yang dapat menggantikannya. Karena itu, memang sudah layak diberikan penghormatan padanya sebagai pahlawan nasional. Karya-karya Ismail Marzuki memang kaya, baik soal melodi maupun liriknya. Ia pun mencipta lagu dengan bermacam warna, salah satunya keroncong, di antaranya Bandung Selatan di Waktu Malam dan Selamat Datang Pahlawan Muda.
(sumber : http://tokoh-ilmuwan-penemu.blogspot.com)
SEJARAH ALAT MUSIK ANGKLUNG
Rabu, 07 Januari 2015
Angklung adalah alat musik bambu yang
dimainkan dengan cara digetarkan. Suara yang dihasilkan adalah efek dari
benturan tabung-tabung bambu yang menyusun instrumen tersebut. Instrumen ini
digolongkan ke dalam jenis idiofon atau alat music yang sumber bunyinya berasal
dari bahan dasarnya. Angklung umumnya dikenal berasal dari daerah Jawa Barat.
Sejak November 2010, UNESCO menetapkannya sebagai salah satu warisan kebudayaan
dunia, dengan kategori Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.
- Angklung Kanekes
Angklung
Kanekes adalah
Angklung yang dimainkan oleh masyarakat Kanekes (Baduy), di daerah Banten.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, tradisi Angklung yang ada pada masyarakat
Kanekes ini terbilang kuno, dan tetap dilestarikan sebagaimana fungsi yang
dicontohkan leluhur mereka, yakni mengiringi ritus bercocok-tanam (padi). Pada
masyarakat Kanekes, yang terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok
Baduy Luar (Kajeroan) dan kelompok Baduy (Luar Kaluaran), yang berhak membuat
Angklung hanyalah warga Baduy Jero, itu pun tidak semua orang, melainkan hanya
mereka yang menjadi keturunan para pembuat Angklung. Sementara itu, warga Baduy
Luar tidak membuat Angklung, melainkan cukup membelinya dari warga Baduy Jero.
Nama-nama Angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung,
dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.
- Angklung Dogdog Lojor
Kesenian Dogdog
Lojor terdapat di lingkungan masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, yang
mendiami sekitar Gunung Halimun, yang berbatasan dengan wilayah Jakarta, Bogor,
dan Lebak. Istilah Dogdog Lojor sendiri sejatinya diambil dari nama salah satu
instrumen dalam tradisi ini, yakni Dogdog Lojor. Namun demikian, Angklung juga
mendapatkan porsi yang tidak kalah penting di sini, terutama dalam fungsi
tradisinya, yakni sebagai pengiring ritus bercocok-tanam. Setelah masyarakat di
- Angklung Badeng
- Angklung Padaeng
Angklung Padaeng
adalah Angklung yang sekarang banyak dikenal luas, yakni Angklung hasil inovasi
Daeng Soetigna, yang menggunakan tangga nada diatonis. Sejalan dengan teori
musik, Angklung Padaeng secara khusus dikelompokan ke dalam dua, yakni:
angklung melodi dan angklung akompanimen. Angklung melodi adalah yang secara
spesifik terdiri dari dua tabung suara dengan beda nada 1 oktaf. Pada satu unit
angklung, umumnya terdapat 31 angklung melodi kecil dan 11 angklung melodi
besar. Sementara itu, angklung akompanimen adalah angklung yang digunakan
sebagai pengiring untuk memainkan nada-nada harmoni. Tabung suaranya terdiri
dari 3 sampai 4, sesuai dengan akor diatonis. Setelah inovasi Daeng Soetigna,
pembaruan-pembaruan lainnya terhadap angklung terus berkembang. Beberapa di
antaranya adalah: Angklung Sarinande, Arumba, Angklung Toel, dan Angklung Sri
Murni.
- Kurulung (getar), merupakan teknik yang paling umum dipakai, di
mana satu tangan memegang rangka angklung, dan tangan lainnya
menggoyangkan angklung selama nada yang diinginkan, hingga tabung-tabung
bambu yang ada silih beradu dan menghasilkan bunyi.
- Cetok (sentak), yakni teknik di mana tabung dasar ditarik dengan
cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi
sekali saja (stacato).
- Tengkep, yakni teknik yang mirip seperti kurulung, namun salah satu tabung ditahan tidak ikut bergetar.